Deputy Minister of Foreign Affairs AM. Fachir after received by President Jokowi, at the State Palace, Jakarta, Friday (30/1) morning.
President Joko Widodo (Jokowi) asked all heads of representatives of Indonesia abroad to be able to translate the government’s priority issues, among others, the protection of citizens, territorial integrity, and economic diplomacy.
President Jokowi submit the request to the Deputy Minister of Foreign Affairs, AM Fachir at the State Palace, Jakarta, Friday (30/1), to report on the readiness of the Work Meeting of the Foreign Ministry with all representatives of Indonesia abroad. As planned, President Jokowi will give a briefing and open work meeting that will take place in Jakarta on February 2, 2015.
“The meeting will discuss the main issues, namely sovereignty, economic diplomacy and the protection of citizens, and good government,” Fachir said.
According to AM Fachir, Jokowi President stressed that the officials of government representatives need to improve communication and coordination with relevant parties.
He said Indonesia has 118 representatives consisting of 87 embassies, 2 Permanent Mission to the UN in New York and Geneva, as well as 30 Consulate General, and the Indonesian Consulate and 64 honorary consuls.
According to AM. Fachir, Jokowi President stressed that Indonesian foreign politics remain the free and active. However, the President said, so many friends that Indonesia has, should not be detrimental to the national interest.
Fachir affirmed, that the free and active intended by President Jokowi is friends with all countries, the maximum benefit should be perceived by people. “Not a lot of friends but harm,” Fachir said quoting President Jokowi.
The Deputy Foreign Minister also said that Indonesia should also be understand the current global economic. This meant that the direction of the global economy that followed was not mistaken. “Although in the end the national interests should come first, but we should be know the direction the wind blows,” Fachir said. (WID/Humas Setkab/ES)
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Watch this video and more on Durioo+
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bahwa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu mewujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan pemerintah daerah yang mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat MPR, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai penyelenggara pemilihan umum.
6. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
9. Hari adalah hari kerja.
Susunan dan Kedudukan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
MPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, MPR menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) MPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui Sekretariat Jenderal MPR kepada publik pada akhir tahun anggaran.
(1) Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
(2) Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
(2) Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Hak dan Kewajiban Anggota
Anggota MPR mempunyai hak:
a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Anggota MPR mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi dan Kelompok Anggota MPR
(1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
(2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
(5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
(6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.
(1) Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
(2) Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.
(3) Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.
(4) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas Kelompok Anggota.
Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
a. pimpinan; dan
b. panitia ad hoc MPR.
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.
(2) Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(4) Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
(5) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
(6) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
(7) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah Ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR.
(8) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
(1) Pimpinan MPR bertugas:
a. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara MPR;
d. melaksanakan putusan MPR;
e. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. mewakili MPR di pengadilan;
g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan
h. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
(1) Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
(3) Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR diganti oleh anggota yang berasal dari DPR atau DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pimpinan MPR berhenti dari jabatannya.
(4) Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota MPR.
(1) Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih berhenti dari jabatannya, pimpinan MPR lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
(2) Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya.
(3) Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan MPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
(1) Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
(2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
(1) Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR.
(2) Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.
(1) Panitia ad hoc MPR bertugas:
a. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
b. menyusun rancangan putusan MPR.
(2) Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR.
(3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(1) Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR.
(2) Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
(1) Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
(2) Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya yang meliputi:
a. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan
b. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul pengubahan diterima.
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(1) Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya.
(2) Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(3) Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya;
b. fraksi dan Kelompok Anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
c. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul.
(1) Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c.
(2) Fraksi dan Kelompok Anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc.
(1) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR.
(2) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan terhadap usul pengubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.
(1) Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.
(2) Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR.
(3) Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(5) Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
(7) Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR.
(8) Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan.
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam Masa Jabatannya
(1) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR.
(1) MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(1) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).
(2) Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).
(3) Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.
(1) Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.
(2) Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya.
(3) Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri sebelum diambil keputusan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3), sidang paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tidak dilanjutkan.
Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
(1) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah/janji Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.
Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden.
(2) Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR.
(3) Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden.
(4) Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
(5) Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.
(6) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.
(7) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil presiden.
(1) MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah/janji Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sebagai berikut:
Sumpah Wakil Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji Wakil Presiden:
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
(1) Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
(2) Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR.
(4) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.
(5) Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
(6) Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
(1) Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara.
(2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
(3) Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama banyak, pemungutan suara diulangi 1 (satu) kali lagi.
(4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR.
(5) Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
(1) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
(2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
(3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ditetapkan dengan ketetapan MPR.
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.
Pelaksanaan Hak Anggota
(1) Anggota MPR mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR.
(3) Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif
(1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak anggota MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
(1) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara.
(2) Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Ketentuan mengenai tata cara persidangan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Pengambilan Keputusan
Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
a. dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(1) Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara ulang.
(4) Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan:
a. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau
b. usul yang bersangkutan ditolak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan sidang MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.
Penggantian Antarwaktu
(1) Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD.
(2) Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota MPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota MPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Susunan dan Kedudukan
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
(1) DPR mempunyai fungsi:
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, DPR menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR di bawah pengawasan Badan Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) DPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
(1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.
(2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
(3) Anggota DPR berdomisili di ibu kota Negara Republik Indonesia.
(4) Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR.
(2) Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sebagai berikut:
”Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
(1) DPR mempunyai hak:
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak dan Kewajiban Anggota
Anggota DPR mempunyai hak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR.
(2) Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik.
(3) Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(5) Fraksi mempunyai sekretariat.
(6) Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.
(1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
b. Badan Musyawarah;
d. Badan Legislasi;
f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara;
g. Badan Kehormatan;
h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen;
i. Badan Urusan Rumah Tangga;
j. panitia khusus; dan
k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
(3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
(1) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(2) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPR.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR.
(4) Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan keputusan DPR.
(5) Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPR bertugas:
a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR;
d. menjadi juru bicara DPR;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR;
f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR;
h. mewakili DPR di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya;
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif.
(4) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama.
(5) Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(6) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.
(1) Badan Musyawarah bertugas:
a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;
d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR;
e. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR;
f. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan
g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah.
(2) Badan Musyawarah menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Musyawarah diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
(1) Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
(2) Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi;
f. menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf e; dan
g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN.
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan adalah:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
c. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
d. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
(4) Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat mengadakan:
a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
b. konsultasi dengan DPD;
c. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
d. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
e. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
f. kunjungan kerja.
(5) Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6) Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah.
(7) Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
(8) Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja komisi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
(1) Badan Legislasi bertugas:
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD;
b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;
c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2) Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Legislasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(2) Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.
(1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
(1) Badan Anggaran bertugas:
a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
(3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.
Badan Anggaran menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Anggaran diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, yang selanjutnya disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BAKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BAKN.
a. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;
b. menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;
c. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan
d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(3) BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) Hasil kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d disampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan, dan/atau peneliti.
BAKN menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BAKN diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.
(1) BKSAP bertugas:
a. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
(2) BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.
BKSAP menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BKSAP diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.
Badan Kehormatan menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota BURT ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
a. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
b. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
c. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
d. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan
e. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
BURT menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BURT diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(2) Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.
(1) Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(3) Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.
(1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
(2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
(3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
(4) Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Pembentukan Undang-Undang
(1) Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
(1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.
(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.
(3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan pengubahan; atau
(4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.
(5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(1) Pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
(2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilakukan melalui tingkat pembicaraan di DPR.
(1) Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
(2) Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD.
(1) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna.
(2) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat paripurna berikutnya, berupa:
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan pengubahan; atau
(3) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR.
(4) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
(5) Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pimpinan DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut kepada pimpinan DPD.
(6) Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan undang-undang yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden dan Pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang serta kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan membahas rancangan undang-undang tersebut.
(7) Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan.
Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 adalah:
b. Tingkat II dalam rapat paripurna.
(1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR;
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e berasal dari DPR;
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR.
b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh:
b. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e; dan
(5) Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
(1) Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
(2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Penerimaan Pertimbangan DPD
terhadap Rancangan Undang-Undang
(1) DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis terhadap rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden.
(2) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah menerima surat Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(3) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR, kecuali rancangan undang-undang tentang APBN disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya.
(1) Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(2) Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR.
(3) Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.
a. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
b. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
1. laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;
2. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau
d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
d. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan
e. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;
b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan
c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.
(2) Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
(3) Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut.
(4) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran.
Kegiatan dalam tahap pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 meliputi:
a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga; dan
b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga.
(1) Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, dan Pasal 151.
(3) DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Badan Anggaran mengadakan pembahasan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia pada triwulan ketiga setiap tahun anggaran tentang laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang disampaikan Pemerintah kepada DPR paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran yang bersangkutan.
(1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
(3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis:
a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 0% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau
d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan.
(4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
(5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah oleh BPK ke DPR.
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/lembaga.
Pengajuan Calon dan Pemberian Persetujuan atau
Pertimbangan atas Calon
(1) DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna.
(2) DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna.
(3) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada alat kelengkapan terkait.
(4) Pembahasan oleh alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar untuk negara lain dan menerima penempatan duta besar dari negara lain.
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk negara lain, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna.
(2) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugasi alat kelengkapan terkait untuk membahasnya secara rahasia.
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna tanpa menyebut nama calon duta besar.
(2) Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan pada masa reses, permintaan tersebut dibahas dalam pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR, pimpinan komisi terkait, dan pimpinan fraksi.
Pertimbangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden secara rahasia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan calon dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Pemilihan Anggota BPK
DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
(1) Kepada pimpinan DPD, pimpinan DPR memberitahukan rencana pemilihan anggota BPK dengan disertai dokumen kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan.
(3) Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan.
(4) Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh DPR kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
b. alasan permintaan keterangan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (3) menyetujui usul interpelasi sebagai hak interpelasi DPR, Presiden dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna berikutnya.
(2) Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
(3) Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya.
(4) Keputusan untuk menerima atau menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
b. alasan penyelidikan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan.
(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
(3) Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket.
(1) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.
(2) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Menyatakan Pendapat
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR.
(2) Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau
c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c.
(4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(1) Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia khusus.
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
(2) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Pelaksanaan Hak Anggota
Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang
(1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Mengajukan Pertanyaan
(1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
(2) Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR.
(3) Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan.
(4) Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan meminta agar Presiden memberikan jawaban.
(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diumumkan.
(1) Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (2) disampaikan secara lisan atau tertulis oleh Presiden.
(2) Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat
(1) Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
(2) Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Hak Memilih dan Dipilih
(1) Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
(1) Anggota DPR mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif
(1) Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
(1) Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Tahun sidang dibagi dalam 4 (empat) masa persidangan.
(4) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.
Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Pengambilan Keputusan
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(1) Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.
Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak bersifat mengikat bagi semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Tata Tertib dan Kode Etik
(1) Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPR.
(3) Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
l. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.
(1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
(1) Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pemberhentian Antarwaktu
(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (1), Badan Kehormatan DPR dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Penggantian Antarwaktu
(1) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara
(1) Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
(3) Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Susunan dan Kedudukan
DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
(1) DPD mempunyai fungsi:
a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
(2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah.
(1) DPD mempunyai tugas dan wewenang:
a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i. ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang.
(2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR.
(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden.
(4) Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya.
(5) Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPD.
(2) Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan pemilihan umum berikutnya.
(2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum.
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Hak dan Kewajiban Anggota
Anggota DPD mempunyai hak:
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
f. protokoler; dan dan
g. keuangan dan administratif.
Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
f. menaati tata tertib dan kode etik;
g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
i. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
(1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
b. Panitia Musyawarah;
c. panitia kerja;
d. Panitia Perancang Undang-Undang;
e. Panitia Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
(2) Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.
(3) Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya.
(4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
(5) Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD.
(6) Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPD bertugas:
a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. menjadi juru bicara DPD;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD;
f. mewakili DPD di pengadilan;
g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan
i. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(1) Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan acara persidangan.
(2) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Disetujui, Timus 24 Juni 2009
(1) Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja.
(1) Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan undang-undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang tertentu.
(2) Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.
(3) Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan adalah:
a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR.
(4) Tugas panitia kerja di bidang pengawasan adalah:
a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu; dan
b. membahas hasil pemeriksaan BPK.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia kerja diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Panitia Perancang Undang-Undang
(1) Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.
Panitia Perancang Undang-Undang bertugas:
a. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran;
b. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
d. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna;
e. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja;
f. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan
g. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Perancang Undang-Undang diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD.
(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Panitia Urusan Rumah Tangga
(1) Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
(2) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga.
(1) Panitia Urusan Rumah Tangga bertugas:
a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD;
b. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPD;
c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Panitia Musyawarah; dan
e. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD.
(3) Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Urusan Rumah Tangga diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang DPD
Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang
(1) DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang berdasarkan program legislasi nasional.
(2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja.
(3) Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD.
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD.
(2) Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
(1) DPD ikut serta membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf a bersama DPR dan Presiden.
(2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 148, Pasal 149 huruf a, Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d, serta Pasal 150 ayat (4) huruf b.
Dalam hal DPD ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf b dan huruf c, DPD menyampaikan pendapat dan pandangannya dalam Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d, serta Pasal 150 ayat (4) huruf b.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pemberian Pertimbangan
terhadap Rancangan Undang-Undang
DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf d kepada pimpinan DPR.
(1) Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(2) Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 154.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK
(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota BPK.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 171.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Penyampaian Hasil Pengawasan
(1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK
(1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan untuk itu.
(2) DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pelaksanaan Hak Anggota
(1) Anggota DPD mempunyai hak bertanya.
(2) Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf e.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat
(1) Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Hak Memilih dan Dipilih
(1) Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
(1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD.
(3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak Keuangan dan Administratif
(1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPD dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disetujui, Timus 18 Juni 2009
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
(1) Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD.
(4) Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara bergantian.
Semua rapat di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Pengambilan Keputusan
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(1) Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota rapat atau sidang.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPD.
Setiap keputusan rapat DPD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, menjadi perhatian semua pihak yang terkait.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
Tata Tertib dan Kode Etik
(1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.
(3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. pemilihan dan penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. penggantian antarwaktu anggota;
g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan;
h. pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler;
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD.
(1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
(1) Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
(3) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pemberhentian Antarwaktu
(1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
b. mengundurkan diri; atau
(2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; atau
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
(1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPD kepada sidang paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1), Badan Kehormatan DPD dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Penggantian Antarwaktu
(1) Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1) dan Pasal 284 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
(3) Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPD.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 228 dan Pasal 229.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pemberhentian Sementara
(1) Anggota DPD diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPD.
(3) Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPD:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Susunan dan Kedudukan
DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.
(1) DPRD provinsi mempunyai fungsi:
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi.
(1) DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
(1) Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
(2) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(3) Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna DPRD provinsi.
(2) Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) DPRD provinsi mempunyai hak:
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak dan Kewajiban Anggota
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Anggota DPRD provinsi mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi.
(2) Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
Alat Kelengkapan DPRD Provinsi
(1) Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas:
b. Badan Musyawarah;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(1) Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD provinsi.
(2) Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
Disetujui, Timus 24 Juni 2009
(5) Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi;
b. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
(1) DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
(3) Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Hak Menyatakan Pendapat
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Pelaksanaan Hak Anggota
(1) Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Hak Keuangan dan Administratif
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.
Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Pengambilan Keputusan
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(1) Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur;
b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi.
Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Tata Tertib dan Kode Etik
(1) Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
(3) Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi.
(1) Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.
(1) Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 ayat (1) berupa:
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pemberhentian Antarwaktu
(1) Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
(2) Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(4) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur.
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD provinsi.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) hari meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(7) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), badan kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.
Penggantian Antarwaktu
(1) Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dan Pasal 334 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU provinsi.
(2) KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri.
(5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 295 dan Pasal 296.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.
Pemberhentian Sementara
(1) Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD provinsi:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Susunan dan Kedudukan
DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang.
(2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak DPRD Kabupaten/Kota
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak dan Kewajiban Anggota
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
i. keuangan dan administratif.
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada 1 (satu) partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
(1) Alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
b. Badan Musyawarah;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
(1) Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota.
(2) Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(5) Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 347 yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi;
b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.
Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
(1) DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan keputusan DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Hak Menyatakan Pendapat
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pelaksanaan Hak Anggota
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Hak Keuangan dan Administratif
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah.
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan.
Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pengambilan Keputusan
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(1) Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota;
b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi.
Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Tata Tertib dan Kode Etik
(1) Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
(3) Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima gratifikasi.
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) berupa:
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan.
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pemberhentian Antarwaktu
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
(4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD kabupaten/kota meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur.
(7) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1), badan kehormatan DPRD kabupaten/kota dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan.
Penggantian Antarwaktu
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (1) dan Pasal 385 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur.
(5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan gubernur.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 346 dan Pasal 347.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan pemerintah.
Pemberhentian Sementara
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan perbuatan pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh gubernur dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD kabupaten/kota:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Sistem Pendukung MPR, DPR, dan DPD
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul lembaga masing-masing.
(2) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, dibentuk badan fungsional/keahlian yang ditetapkan dengan peraturan DPR setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah.
(3) Badan fungsional/keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR dan secara administratif berada di bawah Sekretariat Jenderal DPR.
(4) Pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana dalam kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD.
(1) Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392, masing-masing dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal yang diusulkan oleh pimpinan lembaga masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang kepada Presiden.
(2) Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan lembaga masing-masing harus berkonsultasi dengan Pemerintah.
(4) Usul nama calon Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga masing-masing untuk diangkat dengan keputusan Presiden.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga masing-masing.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan tata cara pertanggungjawaban sekretaris jenderal diatur dengan peraturan lembaga masing-masing.
(1) Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR dan badan fungsional/keahlian DPR, serta Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap.
(2) Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian MPR, DPR, dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masing-masing yang dibahas bersama dengan Pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR dan DPD dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada anggota.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPR atau Sekretaris Jenderal DPD sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota.
Sistem Pendukung DPRD Provinsi
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD provinsi yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD provinsi yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD provinsi.
(3) Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD provinsi berasal dari pegawai negeri sipil.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD provinsi sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.
(3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD provinsi yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD provinsi.
Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat DPRD kabupaten/kota yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil.
Kelompok Pakar atau Tim Ahli
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah.
(3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota.
Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri.
Penyampaian rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan untuk pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c mulai dilaksanakan tahun 2012 untuk penyusunan APBN Tahun 2013.
Penyediaan kantor DPD di setiap ibu kota provinsi untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (4) dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagi kabupaten/kota yang dibentuk sebelum pemilihan umum tahun 2009 dan belum terbentuk DPRD kabupaten/kota, pengisian keanggotaannya berlaku ketentuan Pasal 348 Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310) tetap berlaku bagi MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya.
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan ketentuan undang-undang lainnya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 29 Agustus 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, ttd Wisnu Setiawan
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Keterangan Pers Presiden Joko Widodo terkait Keputusan Mahkamah Konstitusi dan Rapat DPR terkait RUU Pilkada, 21 Agustus 2024
Wartawan Selamat sore, Pak Jokowi. Pak, kemarin kan MK sudah mengeluarkan keputusan yang mengubah threshold dan syarat pencalonan untuk pilkada, tapi hari ini DPR, Baleg DPR khususnya, melakukan rapat untuk membahas RUU Pilkada, gimana Pak tanggapannya, Pak?
Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo) Iya, kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki.
Wartawan Terima kasih, Bapak.
a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu penataan susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan mengatur lembaga perwakilan daerah, sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan politik dan ketatanegaraan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu mengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut MPR, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan DPRD.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Susunan dan Keanggotaan
MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Masa jabatan Anggota MPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Sebelum memangku jabatannya, Anggota MPR mengucapkan sumpah/janji bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna MPR.
Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan MPR.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur DPR dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR.
Selama Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, MPR dipimpin oleh Pimpinan Sementara MPR.
Pimpinan Sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR.
Dalam hal ketua DPR dan/atau ketua DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, kedudukannya digantikan oleh salah satu Wakil Ketua DPR dan/atau wakil ketua DPD.
Ketua dan Wakil Ketua MPR diresmikan dengan Keputusan MPR.
Tatacara pemilihan Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
Tugas Pimpinan MPR adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara MPR;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan MPR;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan putusan MPR;
f. mewakili MPR dan/atau alat kelengkapan MPR di pengadilan;
g. melaksanakan putusan MPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran MPR;dan
i. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna MPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai pimpinan atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. berhenti atau diberhentikan sebagai Anggota DPR atau Anggota DPD;
d. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan MPR; dan
e. melanggar kode etik MPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan MPR.
Dalam hal salah seorang Pimpinan MPR diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal Pimpinan MPR dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin sidang-sidang MPR dan menjadi juru bicara MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan MPR melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
MPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam Sidang Paripurna MPR;
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Anggota MPR mempunyai hak:
mengajukan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar;
menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan;
g. keuangan dan administratif.
Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
Anggota MPR mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara.
Selain sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MPR bersidang untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Sidang MPR sah apabila dihadiri :
a. sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
b. sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
c. sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari jumlah Anggota MPR untuk selain sidang-sidang sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.
Tata cara penyelenggaraan sidang-sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.
Putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) huruf a ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir.
Putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) huruf b ditetapkan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh jumlah Anggota MPR.
Putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) huruf c ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
(4) Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Susunan dan Keanggotaan
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang.
Keanggotaan DPR diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Anggota DPR berdomisili di ibukota negara Republik Indonesia.
Masa jabatan Anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPR.
Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan DPR.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pimpinan DPR terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR.
Selama Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPR dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPR.
Pimpinan Sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPR.
Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan Wakil Ketua Sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR.
Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung.
Ketua dan Wakil Ketua DPR diresmikan dengan Keputusan DPR.
Tata cara pemilihan Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Tugas Pimpinan DPR adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara DPR;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPR;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan putusan DPR;
f. mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan
i. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan DPR;
d. melanggar kode etik DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya lima tahun penjara; dan
f. ditarik keanggotaannya sebagai Anggota DPR oleh partai politiknya.
Dalam hal salah seorang Pimpinan DPR diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal Pimpinan DPR dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin sidang-sidang DPR dan menjadi juru bicara DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPR melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;
g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
m. memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang;
o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Anggota DPR mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Susunan dan Keanggotaan
DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang.
Jumlah seluruh Anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah Anggota DPR.
Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia.
Masa jabatan Anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua Mahkamah Agung dalam Sidang Paripurna DPD.
Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
Selama pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPD.
Pimpinan Sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua sementara dan seorang wakil ketua sementara yang diambilkan dari anggota tertua dan anggota termuda usianya.
Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda usianya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan Keputusan DPD.
Tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Tugas Pimpinan DPD adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara DPD;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPD;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan putusan DPD;
f. mewakili DPD dan/atau alat kelengkapan DPD di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPD; dan
i. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPD.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPD;
d. melanggar kode etik DPD berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPD; atau
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya lima tahun penjara.
Dalam hal salah seorang pimpinan DPD diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal pimpinan DPD dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin sidang-sidang DPD dan menjadi juru bicara DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka pimpinan DPD melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
DPD mempunyai fungsi :
a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.
DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.
DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR.
Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.
Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah.
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis sebelum pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.
a. mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (1).
Anggota DPD mempunyai hak:
a. menyampaikan usul dan pendapat;
b. memilih dan dipilih;
c. membela diri;
d. imunitas;
e. protokoler; dan
f. keuangan dan administratif.
Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
j. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Susunan dan Keanggotaan
DPRD Provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
Anggota DPRD Provinsi berjumlah sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak-banyaknya seratus orang.
Keanggotaan DPRD Provinsi diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
Anggota DPRD Provinsi berdomisili di ibukota provinsi yang bersangkutan.
Masa jabatan Anggota DPRD Provinsi adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPRD Provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DPRD Provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam Sidang Paripurna DPRD Provinsi.
Anggota DPRD Provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan DPRD Provinsi.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pimpinan DPRD Provinsi terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-banyaknya tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPRD Provinsi dalam sidang paripurna DPRD Provinsi.
Selama Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPRD Provinsi dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPRD Provinsi.
Pimpinan Sementara DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD Provinsi.
Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, Ketua dan Wakil Ketua Sementara DPRD Provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD Provinsi.
Pimpinan DPRD Provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 yang dipandu oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Tugas Pimpinan DPRD Provinsi adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil Ketua;
c. menjadi juru bicara DPRD Provinsi;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPRD Provinsi;
e. mengadakan konsultasi dengan gubernur dan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan putusan DPRD Provinsi;
f. mewakili DPRD Provinsi dan/atau alat kelengkapan DPRD Provinsi di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPRD Provinsi berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPRD Provinsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat ...
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan DPRD Provinsi;
d. melanggar kode etik DPRD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPRD Provinsi;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya lima tahun penjara; dan
f. ditarik keanggotaannya sebagai Anggota DPRD Provinsi oleh partai politiknya.
Dalam hal salah seorang Pimpinan DPRD Provinsi diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal Pimpinan DPRD Provinsi dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas, memimpin sidang-sidang DPRD Provinsi, dan menjadi juru bicara DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPRD Provinsi melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
DPRD Provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi.
DPRD Provinsi mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
DPRD Provinsi mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
Anggota DPRD Provinsi mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Anggota DPRD Provinsi mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan daerah;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
DPRD Provinsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH KABUPATEN/KOTA
Susunan dan Keanggotaan
DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota berjumlah sekurang-kurangnya dua puluh orang dan sebanyak-banyaknya empat puluh lima orang.
Keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota diresmikan dengan keputusan gubernur atas nama Presiden.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota berdomisili di kabupaten/kota yang bersangkutan.
Masa jabatan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.
Tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.
Selama Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPRD Kabupaten/Kota dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten/Kota.
Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, Ketua dan Wakil Ketua Sementara DPRD Kabupaten/Kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD Kabupaten/Kota.
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
Tata cara pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Tugas Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota adalah:
a. memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara DPRD Kabupaten/Kota;
d. melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPRD Kabupaten/Kota;
e. mengadakan konsultasi dengan bupati/walikota dan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan putusan DPRD Kabupaten/Kota;
f. mewakili DPRD Kabupaten/Kota dan/atau alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota di pengadilan;
g. melaksanakan putusan DPRD Kabupaten/Kota berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) berhenti atau diberhentikan dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota;
d. melanggar kode etik DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPRD Kabupaten/Kota;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya lima tahun penjara;
f. ditarik keanggotaannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten/Kota oleh partai politiknya.
Dalam hal salah seorang Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
Dalam hal Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan melaksanakan tugas, memimpin sidang-sidang DPRD Kabupaten/Kota, dan menjadi juru bicara DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Dalam hal Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, maka Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota melaksanakan kembali tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a dan huruf c.
Tata cara pemberhentian dan penggantian Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah kabupaten/kota.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan bupati/walikota untuk mendapat persetujuan bersama;
b. menetapkan APBD Kabupaten/Kota bersama-sama dengan bupati/walikota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan bupati/walikota, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur;
e. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan
f. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan daerah;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, berhak meminta pejabat negara tingkat kabupaten/kota, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama lima belas hari sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
PENGGANTIAN ANTARWAKTU
Penggantian Antarwaktu Anggota MPR
Penggantian antarwaktu Anggota MPR terjadi apabila terjadi penggantian antarwaktu Anggota DPR atau DPD.
Pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Penggantian Antarwaktu Anggota DPR
Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Anggota DPR diberhentikan antarwaktu karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR;
b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
c. melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR;
d. melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.
Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2) huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk diresmikan.
Pemberhentian Anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, dan c setelah dilakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPR atas pengaduan Pimpinan DPR, masyarakat dan/atau pemilih.
Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
Anggota DPR yang berhenti atau diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti dari Anggota DPR yang terpilih memenuhi bilangan pembagi pemilihan atau memperoleh suara lebih dari setengah bilangan pembagi pemilihan adalah calon yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara pada daerah pemilihan yang sama.
b. calon pengganti dari Anggota DPR yang terpilih selain pada huruf a adalah calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut berikutnya dari daftar calon di daerah pemilihan yang sama.
c. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara atau urutan daftar calon berikutnya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPR pada daerah pemilihan yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti diambil dari Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihan yang terdekat dalam provinsi yang bersangkutan;
b. calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dikeluarkan dari Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihannya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPR dari daerah pemilihan di provinsi yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru yang diambil dari Daftar Calon Anggota DPR dari provinsi yang terdekat.
Anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya.
Pimpinan DPR menyampaikan kepada KPU nama Anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu yang diusulkan oleh pengurus partai politik di tingkat pusat yang bersangkutan untuk diverifikasi.
Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPR tersebut setelah menerima rekomendasi KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Peresmian pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota DPR ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Sebelum memangku jabatannya, Anggota DPR yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Pimpinan DPR dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
Penggantian Anggota DPR antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari empat bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Penggantian Antarwaktu Anggota DPD
Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis.
Anggota DPD diberhentikan karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPD;
b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji, kode etik DPD, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPD;
d. melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.
Pemberhentian Anggota DPD yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) huruf d dan e langsung disampaikan oleh pimpinan DPD kepada Presiden untuk diresmikan.
Pemberhentian Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, dan c setelah dilakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPD atas pengaduan pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih.
Pengaduan oleh pemilih dari daerah pemilihan Anggota DPD yang bersangkutan disampaikan melalui DPRD Provinsi setempat untuk diteruskan kepada badan kehormatan DPD.
Anggota DPD yang berhenti atau diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti adalah calon yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon Anggota DPD daerah pemilihan di provinsi yang sama dengan yang digantikan berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
b. apabila calon pengganti dalam daftar peringkat perolehan suara calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada huruf a mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
Anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya.
(1) Pimpinan DPD menyampaikan kepada KPU nama Anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu untuk diverifikasi.
Pimpinan DPD setelah menerima rekomendasi KPU mengenai hasil verifikasi terhadap persyaratan calon Anggota DPD, mengusulkan kepada Presiden untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPD tersebut.
Peresmian pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota DPD ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Sebelum memangku jabatannya, Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh ketua/pimpinan DPD dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
Penggantian Anggota DPD antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari empat bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Penggantian Antarwaktu Anggota DPRD Provinsi
Anggota DPRD Provinsi berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Anggota DPRD Provinsi diberhentikan karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPRD Provinsi;
b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji, kode etik DPRD Provinsi, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPRD Provinsi;
d. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.
Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2) huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPRD Provinsi kepada gubernur untuk diresmikan.
Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, dan c setelah dilakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD Provinsi atas pengaduan Pimpinan DPRD Provinsi, masyarakat dan/atau pemilih.
Pengaduan oleh pemilih dari daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi yang bersangkutan disampaikan melalui DPRD Provinsi setempat untuk diteruskan kepada badan kehormatan DPRD Provinsi.
Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi.
Anggota DPRD Provinsi yang berhenti atau diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti dari Anggota DPRD Provinsi yang terpilih memenuhi bilangan pembagi pemilihan atau memperoleh suara lebih dari setengah bilangan pembagi pemilihan adalah calon yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara pada daerah pemilihan yang sama.
b. calon pengganti dari Anggota DPRD Provinsi yang terpilih selain pada huruf a adalah calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut berikutnya dari daftar calon di daerah pemilihan yang sama.
c. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara atau urutan daftar calon berikutnya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPRD Provinsi pada daerah pemilihan yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti diambil dari Daftar Calon Anggota DPRD Provinsi dari daerah pemilihan yang terdekat dalam kabupaten/kota yang bersangkutan;
b. calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dikeluarkan dari Daftar Calon Anggota DPRD Provinsi dari daerah pemilihannya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPRD Provinsi dari daerah pemilihan di kabupaten/kota yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru yang diambil dari Daftar Calon Anggota DPRD Provinsi dari kabupaten/kota yang terdekat.
Anggota DPRD Provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya.
Pimpinan DPRD Provinsi menyampaikan kepada KPU Provinsi nama Anggota DPRD Provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu yang diusulkan oleh pengurus partai politik yang bersangkutan untuk diverifikasi.
Pimpinan DPRD Provinsi menyampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPRD Provinsi tersebut setelah menerima rekomendasi KPU Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Peresmian pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota DPRD Provinsi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
Sebelum memangku jabatannya, Anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Pimpinan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56.
Penggantian Anggota DPRD Provinsi antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari empat bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
Penggantian Antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten/Kota
Anggota DPRD Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang diberhentikan antarwaktu, karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPRD Kabupaten/Kota;
b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji, kode etik DPRD Kabupaten/Kota, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPRD Kabupaten/Kota;
d. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan; dan
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.
Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2) huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk diresmikan.
Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, dan c setelah dilakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD Kabupaten/Kota atas pengaduan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, masyarakat dan/atau pemilih.
Pengaduan oleh pemilih dari daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan disampaikan melalui DPRD Kabupaten/Kota setempat untuk diteruskan kepada badan kehormatan DPRD Kabupaten/Kota.
Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang berhenti atau diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) digantikan oleh calon pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti dari Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih memenuhi bilangan pembagi pemilihan atau memperoleh suara lebih dari setengah bilangan pembagi pemilihan adalah calon yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara pada daerah pemilihan yang sama.
b. calon pengganti dari Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih selain pada huruf a adalah calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut berikutnya dari daftar calon di daerah pemilihan yang sama.
c. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b mengundurkan diri atau meninggal dunia, diajukan calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara atau urutan daftar calon berikutnya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota pada daerah pemilihan yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai pengganti dengan ketentuan:
a. calon pengganti diambil dari Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota dari daerah pemilihan yang terdekat dalam kecamatan yang bersangkutan;
b. calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a dikeluarkan dari Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota dari daerah pemilihannya.
Apabila tidak ada lagi calon dalam Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota dari daerah pemilihan di kabupaten/kota yang sama, pengurus partai politik yang bersangkutan dapat mengajukan calon baru yang diambil dari Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota dari kecamatan yang terdekat.
Anggota DPRD Kabupaten/Kota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya.
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota nama Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu yang diusulkan oleh pengurus partai politik di kabupaten/kota yang bersangkutan untuk diverifikasi.
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk meresmikan pemberhentian dan pengangkatan Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut setelah menerima rekomendasi KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Peresmian pemberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan gubernur atas nama Presiden.
Sebelum memangku jabatannya, Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72.
Penggantian Anggota DPRD Kabupaten/Kota antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari empat bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
Tata cara verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan oleh KPU.
ALAT KELENGKAPAN, PROTOKOLER, KEUANGAN,
DAN PERATURAN TATA TERTIB
Alat Kelengkapan dan Pendukung
Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
a. Pimpinan;
b. Panitia Ad Hoc; dan
c. Badan Kehormatan.
Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
a. Pimpinan;
b. Komisi;
c. Badan Musyawarah;
d. Badan Legislasi;
e. Badan Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kerjasama Antar-Parlemen;
g. Badan Kehormatan;
h. Panitia Anggaran; dan
i. Alat Kelengkapan lain yang diperlukan.
Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
a. Pimpinan;
b. Panitia Ad Hoc;
c. Badan Kehormatan; dan
d. Panitia-panitia lain yang diperlukan.
Alat kelengkapan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pimpinan;
b. Panitia Musyawarah;
c. Komisi;
d. Badan kehormatan;
e. Panitia Anggaran; dan
f. Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota-Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota wajib berhimpun dalam fraksi.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas MPR, DPR, dan DPD dibentuk sekretariat jenderal yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personalnya terdiri atas pegawai negeri sipil.
Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) organisasinya harus disusun sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja pelaksanaan fungsi dan tugas MPR, DPR, dan DPD.
Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin seorang sekretaris jenderal dan seorang wakil sekretaris jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan MPR, DPR, dan DPD.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD Provinsi dibentuk sekretariat dewan yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi dan personalnya terdiri atas pegawai negeri sipil.
Sekretariat DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas pertimbangan Pimpinan DPRD Provinsi.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD Kabupaten/Kota dibentuk sekretariat dewan yang ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota dan personalnya terdiri atas pegawai negeri sipil.
Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas pertimbangan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga dan membantu pelaksanaan fungsi dan tugas MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara profesional, dapat diangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan.
Para pakar/ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelompok pakar/ahli di bawah koordinasi Sekretariat Jenderal MPR, DPR, DPD, Sekretariat DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Protokoler dan Keuangan
Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan Anggota MPR, DPR, dan DPD diatur oleh masing-masing lembaga bersama-sama pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan keuangan MPR, DPR, dan DPD dilaksanakan oleh pimpinan lembaga sesuai dengan undang-undang.
Kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan Tata Tertib
Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing lembaga dan berfungsi untuk memperjelas pelaksanaan tugas dan mengatur mekanisme kerja anggota/lembaga.
Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk kepentingan intern masing-masing lembaga.
Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai keterkaitan dengan pihak lain/suatu lembaga di luar lembaga MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus mendapat persetujuan dari pihak lain/lembaga yang terkait.
Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi tata cara:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. pemilihan dan penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. penyelenggaraan sidang/rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas, kewajiban, dan wewenang serta hak anggota/lembaga;
f. pengaduan dan tugas badan kehormatan dalam proses penggantian antarwaktu;
g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang serta kewajiban alat-alat kelengkapan;
h. pembuatan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pelaksanaan hubungan kerja sekretariat dan pakar/ahli; dan
l. pengaturan protokoler dan kode etik serta alat kelengkapan lembaga.
Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum.
KEKEBALAN, LARANGAN, DAN PENYIDIKAN TERHADAP ANGGOTA MPR, DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan;
c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak boleh melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan masing-masing lembaga.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota wajib menyusun kode etik yang berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kode etik MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota juga memuat jenis sanksi dan mekanisme penegakan kode etik yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga.
Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dikenai sanksi sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga.
Dalam hal Anggota MPR, DPR, dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Dalam hal seorang Anggota DPRD Provinsi diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
Dalam hal seorang Anggota DPRD Kabupaten/Kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak berlaku apabila Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
Setelah tindakan pada ayat (4) dilakukan, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberikan ijin selambat-lambatnya dalam dua kali 24 jam.
Selama Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjalani proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan pengadilan, yang bersangkutan tetap menerima hak-hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada Provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum tidak diadakan pemilihan Anggota DPD sampai dengan pemilihan umum berikutnya.
Anggota DPD pada provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum.
Pengisian Anggota DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota pada provinsi/kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. memindahkan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari Provinsi/Kabupaten/Kota induk yang mewakili kabupaten/kota/kecamatan yang masuk provinsi/ kabupaten/kota baru; dan
b. pengangkatan anggota baru dari daftar calon tetap Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota induk berdasarkan perimbangan perolehan suara partai politik peserta pemilihan umum dan peringkat perolehan suara dari setiap calon pada pemilihan umum sebelumnya di provinsi/kabupaten/kota induk.
Pengisian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.
Pengisian atas kekosongan Anggota DPRD Provinsi/ Kabupaten/Kota induk sebagai akibat dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan penggantian antarwaktu.
Pengisian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dilakukan bagi provinsi/kabupaten/kota yang dibentuk delapan belas bulan sebelum pelaksanaan pemilu berikutnya.
Penetapan dan tata cara pengisian Anggota DPRD Provinsi/ Kabupaten/Kota diatur dalam undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan.
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku maka susunan, kedudukan, keanggotaan, dan Pimpinan MPR, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum 1999 tetap berlaku sampai dengan pengucapan sumpah/janji Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum berikutnya.
Peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum ada pengaturan yang baru menurut undang-undang ini.
Ketentuan mengenai penggantian antarwaktu Anggota MPR, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan berlaku sejak undang-undang ini disahkan, kecuali yang berkenaan dengan larangan rangkap jabatan bagi anggota TNI/POLRI.
Sebelum Sekretariat Jenderal DPD dibentuk maka tugasnya dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR.
Dengan berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811) dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 31 Juli 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 92
NHK menyampaikan jawaban terkait langkah memastikan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam serial kali ini, kami memfokuskan pada meningkatnya jumlah serangan beruang di Jepang tahun ini serta apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. Episode ini akan membahas langkah-langkah untuk mencegah kerusakan akibat beruang.
Dalam upaya untuk mencegah kerusakan akibat beruang, penting untuk menjaga hewan tersebut jauh dari tempat tinggal manusia. Beruang tampaknya akan muncul di kawasan perumahan saat mencari makanan.
Hewan tersebut khususnya menyukai buah-buahan dan kacang-kacangan, seperti kesemek dan chestnut. Jadi, pertama-tama, jangan biarkan buah atau kacang ranum di pohon. Petiklah secepat mungkin. Kalau tidak bisa mengonsumsi semua makanan itu, buang sisanya agar beruang tidak mendekatinya.
Kedua, jangan biarkan limbah dapur atau makanan hewan peliharaan di luar rumah. Para pakar mengatakan aroma yang kuat menarik beruang. Jadi, ambillah langkah-langkah untuk mencegah aromanya menyebar.
Selain itu, penting untuk menghancurkan tempat-tempat beruang bisa bersembunyi, seperti semak-semak.
Beruang kadang menjadi panik setelah tersasar ke kawasan kota dan menerobos ke dalam bangunan. Maka itu, kuncilah pintu rumah dan gudang.
Informasi ini akurat tertanggal 8 November.